Thursday, October 25, 2007

Nuansa keilmuan angkringan jogja

Dalam nuansa hati yang tidak baik saya selalu menyibukkan diri untuk melakukan hal yang dapat membuat saya lebih produktif, karena ketika sedang terserang suasana hati yang tidak baik saya pasti akan selalu memikirkan penyebabnya dengan emosi dan kebingunan yang berakhir dengan tetesan air mata dan kemalasan, karena itu saya rasa saya harus berada di tempat dimana saya dapat berada dalam kesibukan yang menyenangkan dan sendiri untuk menenangkan hati. Pelarian saya biasanya pada dunia internet dimana saya dapat bebas sebebas-bebasnya. Beruntunglah saya mendapatkan kakak ipar yang mau meminjamkan laptopnya, jadi saya tidak harus berboros-boros ria dengan mengurangi uang saku untuk pergi ke warnet.
Nah rupanya sore ini saya menginginkan pemenuhan kebutuhan sibuk itu. Saya akhirnya mencoba ngenet di gelanggang. Ntah kenapa hari ini lidah menginginkan angkringan sambal teri—atau mungkin karena tanggal tua ya, hehehe…-- saya pikir sekalian saja mencoba untuk mampir di angkringan gelanggang, dan ternyata yang sedang nongkrong di sana semuanya adalah laki-laki dan saya rasa itu tidak masalah sama sekali buat saya.
Ternyata sambal teri adalah menu yang cukup diminati, karena menu ini adalah menu yang paling cepat habisnya, dan wal hasil saya tidak kebagian…yah terpaksa saya makan menu tempe….
Selama menikmati makanan, secara tidak sengaja pembicaraan customer angkringan terdengar di telinga saya, ternyata mereka sedang mebicarakan tentang budaya, dengan membandingkan budaya orang-orang Jepang dengan orang-orang Indonesia. Satu hal yang saya tangkap dan menarik adalah salah satu orang diantara mereka mengatakan bahwa meskipun anak muda di Jepang berpakaian ala barat (western centre) tetapi hati mereka tetap Jepang. Ketika bertemu dengan orang lain mereka tetap saling menyapa, tidak seperti orang Indonesia, meskipun mereka sama menganut western centre, tetapi adopsi budayanya tampaknya tidak tersaring dan menempatkan si pengadopsi dalam posisi social yang tinggi dengan bergaya petentang-petenteng. Tetapi orang Jepang mengatakan meskipun begitu jiwa orang Indonesia terpancar sangat dahsyat, tetapi hal ini hanya tercermin dalam seni seperti seni tari, lukis, pahat, dan sebagainya. Orang-orang Jepang adalah orang-orang yang memiliki semangat berjuang dan kemandirian yang sangat tinggi, bahkan kalau mereka bisa membuat rumah sendiri, mereka akan melaksanakan hal itu, dan mereka sangat bangga akan produk yang mereka ciptakan sendiri, hal ini juga yang membedakan orang Jepang dengan orang Indonesia yang sangat bangga memakai produk impor.
Saya rasa ini masuk akal juga kalau kita melihat orang-orang disekeliling kita yang dapat diumpamakan wong jowo kok ora njawani—saya tidak bermaksud mensentralisasi Indonesia dalam budaya jawa, tetapi saya hanya ingin mengungkapkan bahwa orang Indonesia sudah kehilangan originalitasnya.
Tak salah jika Yogyakarta hingga saat ini masih disebut kota pendidikan. Rupanya atmosfer ini tidak hanya ditemui di sekitar ruang perkuliahan. Nuansa diskusi ilmiah ternyata juga berlangsung di angkringan gelanggang UGM—gelanggang UGM adalah lokasi sekretaria-sekretariat UKM UGM— saat mereka nongkrong sambil menikmati makan malam dengan nuansa remang-remang di gerobak angkringan.

No comments: