Saturday, October 6, 2007

Menggagas kemandirian bangsa

Gagasan Kemandirian Bangsa
Kita sering menyaksikan kampanye pemimpin di negara ini tentang pengentasan kemiskinan dan pengangguran, tetapi realisasi akan hal itu jauh dari program pasca terpilihnya sang pemimpin, pasalnya pemimpin di negara ini hanya berkutat pada masalah perebutan dan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan, bahkan pengembalian materi untuk biaya politik. Oleh karena itu focus pengembangan kesejahteraan masyarakat sering terabaikan. Sebagai anggota masyarakat yang menyadari akan hal ini, hendaknya kita tergerak untuk berbuat sesuatu dan tidak terlalu menggantungkan diri kepada pemerintah, untuk mempertahankan komitmen ini kita memerlukan kemampuan kemandirian, artinya setelah kita tahu bahwa orientasi kesejahteraan public terabaikan oleh pemerintah dan tidak meggantungkan diri pada pemerintah kita juga terbebas dari system hegemonial bangsa lain yang sering memberikan bantuan lunak bahkan grant, sehingga kita dapat menjadi apa yang disebut Satre sebagai arsitek bagi diri sendiri.
Berbicara tentang pemberantasan kemiskinan dan proses kemandirian bangsa, kita dapat belajar dari dua mantan penguasa besar bangsa ini pasca kemerdekaan—Soekarno dan Soeharto. Kedua perspektif itu yang pertama adalah kemandirian yang telah lama digembar-gemborkan Soekarno agar kita terbebas dari imperialisme dan kolonialisme. Dalam pandangan Soekarno, kita sebagai bangsa yang merdeka, kita harus dapat berdiri diatas kaki sendiri. Perspektif yang kedua adalah Soeharto—meskipun secara politis Bangsa Indonesia terbelenggu, kemampuan sistem pemerintahan yang dapat mengurus perut warganya nampaknya cukup untuk meminimalisir pemberontakan yang bermotif separatisme. Jalan yang ditempuh dalam pembangunan ekonomi saat itu dirasakan mulus oleh mayoritas masyarakat Indonesia, sehingga tak heran kalau terceletuk dari mulut rakyat bahwa mereka mengkritik gerakan reformasi--atas dasar fakta kehidupan sehari-hari—dimana kehidupan ekonomi yang terpuruk pasca kejatuhan Soeharto. Langkah yang ditempuh Soeharo adalah langkah insta, sehingga mudah terobohkan ketika dihantam badai krisis global, tetapi kedua perspektif ini akan menghasilkan kombinasi yang baik untuk perkembangan bangsa Indonesia. Artinya kemandirian akan tercapai dengan kemempuan untuk memanage kehidupan ekonomi yang baik.

Kemiskinan dalam Kelimpahruahan
Kata kemiskinan secara langsung menunjukkan suatu kondisi kekurangan dan ketidakmampuan untuk mengentaskan dirinya dari kondisi tersebut. Ketika belajar di sekolah dasar, sering kita mendapati kata-kata yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya raya, namun sekarang kekayaan itu tidak dapat kita temukan dalam kehidupan mayoritas bangsa ini. Meningkatnya angka kelaparan dan tingginya angka pengangguran tak luput dari deretan berita buruk media massa. Angka pengangguran yang tinggi yang menyebabkan kemiskinan finansial adalah salah satu bentuk ketergantungan terhadap orang lain, karena pengguran mengindikasikan suatu ketidakmampuan untukmenciptakan lapangan kerja sendiri. Ada banyak faktor yang menyebabkan naiknya angka pengangguran ini, faktor-faktor itu terbagi atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam setiap individu, misalnya soft skill, sikap, mental, ketiadaan modal finansial, cacat, dan sebagainya yang tergolong dalam kaum divable. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar kendali personal, misalnya kualitas pendidikan yang diberikan oleh negara, sistem ekonomi makro, sistem politik, dan sebagainya yang dikendalikan oleh negara maupun sistem global yang mengendalikan negara[1].
Dalam konsep awalnya, negara adalah kumpulan kehendak individu yang tidak mampu untuk di penuhi secara individual, kehendak ini akhirnya menjadi kehendak kolektivis. Kehendak kolektivis inilah yang dikelola oleh negara sehingga kehendak setiap individu tidak tercederai. Atas dasar kesukarelaan individual untuk menjadi warga negara inilah, individu dianggap sebagai resources dalam negara bangsa, dan negara dianggap mempunyai hutang moral kepada warganya. Hutang moral itu salah satunya adalah meratakan resources yang dimiliki oleh setia pindividu, agar terjadi keseimnagan soosial yang tepat, dimana hak setiap individu tidak tercederai. Diantara hutang moral yang menjadi kewajiban negara dalam memenuhinya adalah pendidikan yang berkualitas, peka terhadap lingkungan dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan.
Di Indonesia sendiri pada kenyataannya kekayaan yang berlimpah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh warga negaranya, kewajiban moral negara tidak terbayarkan dengan baik, dan angka pengangguran dengan lulisan pendidikan tinggi sangat tinggi. Padahal, dengan lingkungan dan intelektualitas yang ditawarkan oleh pendidikan tinggi seharusnya mampu untuk memobilisasi status sosial dan ekonomi masyarakat. Berawal dari logika sederhana, ketika penduduk Indonesia mencapai angka yang tinggi, jumlah kebutuhan akan semakin banyak, maka jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan akan meningkat, ketika produksi meningkat dibutuhkan tenaga yang lebih banyak pula, tetapi individu-individu yang notabene lulusan pendidikan tinggi tidak dapat mengatasi hal ini, mereka hanya mengaharapkan lapangan pekerjaan diciptakan untuk mereka, tanpa mempedulikan efek sosial, kultural, politik, dan futuristik.

Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Mahasiswa
Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui bahwa kesempatan harapan yang paling besar berasal dari kita sendiri yang menyadari akan kondisi ini. Di Indonesia tenaga berskill dan terdidik di Indonesia tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, pemerintah tidak menyediakan jaminan lapangan pekerjaan dan gaji yang memadai untuk mereka, hal ini berbeda sekali dengan malaysia yang menyediakan jaminan lapangan pekerjaan dan gaji yang semakin tinggi untuk mereka yang mengenyam pendidikan yang tinggi pula,dengan demikian mereka akan semakin termotivasi untuk meningkatkan produktivitasnya.
Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada sendiri diajarkan mata kuliah-mata kuliah tentang analisis, konstruksi, rekayasa, dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Namun pembelajaran di dalamnya sering kali hanya sebatas analisis dan jarang menelurkan usaha penyelesaian secara konkret. Hal ini dapat mengantarkan ilmu-ilmu yang dipelajari kedalam lubang kematiannya. Mislanya, pada kegiatan perkulihahan sering di bahas tentang kemiskinan, tetapi jarang sekali analisis-analisis tersebut menyentuh pada titik ide penyelesaian konkret, karena itu ide-ide dan usaha untuk mengintegrasikan kajian interdisipliner tidak pernah terlatih

[1] sistem kapitalisme global, sistem dipendensi, perjanjian internasional, adalah bentuk-bentuk sistem yang dapat mengontrol suatu negara.