Monday, December 31, 2007
Thursday, November 15, 2007
Perempuan dalam mindsetku
Dalam perspektif teori nature pembagian kerja secara seksual menempatkan perempuan sebagai indivisdu yang memiliki tugasa dalam rumah tangga sebagai pengurus kegiatan domestik. Bila dilihat dari sudut pandang ini, pembagian kerja yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan berdasarka perbedaan biologis yang tercipta secara natural. Perbedaan ini telah menempatkan perempuan bekerja hanya dalam ruang domestik karena perempuan harus melahirkan anak, proses penyembuhan setelah melahirkan, dan menyusui. Sedangkan laki-laki yang tidak memiliki fase dalam kehidupan yang mengharuskan dirinya untuk tinggal di dalam ruangan (rumah) dinggap dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga yang tidak dapat dipenuhi oleh seorang perempuan, terutama pada saat melahirkan, penyembuhan pasca melahirkan, menyusui bahkan haid.
Pembagian kerja seperti ini dianggap dapat membelenggu perempuan karena mereka terisolir dan tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk membuka membuka pergaulan selain dengan anak dan suaminya, oleh karena itu mereka menjadi teralienasi dari berbagai macam informasi tentang kehidupan sosial. Padahal informasi tentang kehidupan soaial diluar keluarga—kalau seorang perempuan dituntut untuk kerja dalam lingkungan domestik secara profesional—sangat penting. Bayangkan jika perempuan yang memiliki tugas untuk mendidik seorang anak—dan dapat mengimbangi kehidupan suami—terisolir dari kehidupan sosial diluar keluarga, bagaimana dia dapat mengadaptasikan anaknya dengan kehidupan diuar? Seorang anak pasti akan bergaul dengan lingkungan luar dan lingkungan di luar rumah pasti akan mempengeruhi pola pikirmy. Kalau kehidupan di luar yang merupakan kehidupan baru dimana dia tidak pernah mendapatkan sedikitpun gambaran tentangnya, maka akan ada kebingungan dalam mengadaptasikan dirinya. Disinilah peran seorang perempuan dalam pengalaman hidup si anak. Ketika si anak tidak mendapatkan kepuasan akan kehidupan dalam perspektifnya maka kesempatan yang terbuka adalah memuaskannya dalam kehidupan diluar rumah, dan hal itu sangat berbahanya tanpa adanya pendampingan dan bekal pengetahuan yang cukup tentang kehidupan sosial diluar rumah.
Krisis kepercayaan yang terjadi dalam lingkungan sosial saat ini mendorong seseorang untuk menjadikan orang terdekatnya sebagai partnernya. Beberapa perceraian dan penyelewengan tidak hanya diakibatkan oleh permasalahan seksual semata tetapi tentang keseimbangan yang ada pada kehidupan rumah tangga. Dalam konsep marketing yang terbaru, kita mengenal “marketing in venus”, yang dibawa dari konsep ini adalah konsep pekerjaan domestik dari seprang perempuan dimana dia dapat memberikan pelayanan dan kenyamanan bagi seorang laki-laki dan anak-anaknya. Ini artinya, didalam kehiduan rumah tangga salah satu yang dibutuhkan adalah kecapakan seorang perempuan (istri) dalam mengimbangi kehidupan sosial suami, semakin tinggi status sosial dan peran sosial sang suami, beban untuk menyeimbangkan oleh seorang istri semakin berat oleh karena itu tuntuna untuk mengetahui kehidupan sosial diluar keluargapun semakin besar.
Uraian diatas tela memberikan gambaran betapa pentingnya keterbukaan bagi seorang perempuan untuk melihat fenomena sosial diluar rumah. Dulu, sebelum ada perkembnga teknologi yang secanggih sekarang, tuntutan keterbukaan itu menjadi semakin berat karena untuk membuka diri, berarti mengharuskan seorang perempuan untuk sering keluar rumah, tetapi dengan kecanggihan teknologi, seseorang dapat mengakses segala macam informasi bahkan dapat memperoleh keuntungan finansial hanya dari dalam rumah. Dlam kasus ini saya rasa tidak menjadi alasan bagi seorang perempuan untuk berprofesi menjalankan kegiatan domestik dalam rumah tangga. Tetapi hal ini pemikiran ini mungkin tidak berlaku bagi perempuan yang memliki ketertarika pada bidang lain yang menginginkan untuk lama berada di luar ruangan, tetapi mengapa harus berada di luar ruangan dengan pekerjaan yang berat jika terdapat kenyamanan di dalam rumah?
Thursday, October 25, 2007
Nuansa keilmuan angkringan jogja
Nah rupanya sore ini saya menginginkan pemenuhan kebutuhan sibuk itu. Saya akhirnya mencoba ngenet di gelanggang. Ntah kenapa hari ini lidah menginginkan angkringan sambal teri—atau mungkin karena tanggal tua ya, hehehe…-- saya pikir sekalian saja mencoba untuk mampir di angkringan gelanggang, dan ternyata yang sedang nongkrong di sana semuanya adalah laki-laki dan saya rasa itu tidak masalah sama sekali buat saya.
Ternyata sambal teri adalah menu yang cukup diminati, karena menu ini adalah menu yang paling cepat habisnya, dan wal hasil saya tidak kebagian…yah terpaksa saya makan menu tempe….
Selama menikmati makanan, secara tidak sengaja pembicaraan customer angkringan terdengar di telinga saya, ternyata mereka sedang mebicarakan tentang budaya, dengan membandingkan budaya orang-orang Jepang dengan orang-orang Indonesia. Satu hal yang saya tangkap dan menarik adalah salah satu orang diantara mereka mengatakan bahwa meskipun anak muda di Jepang berpakaian ala barat (western centre) tetapi hati mereka tetap Jepang. Ketika bertemu dengan orang lain mereka tetap saling menyapa, tidak seperti orang Indonesia, meskipun mereka sama menganut western centre, tetapi adopsi budayanya tampaknya tidak tersaring dan menempatkan si pengadopsi dalam posisi social yang tinggi dengan bergaya petentang-petenteng. Tetapi orang Jepang mengatakan meskipun begitu jiwa orang Indonesia terpancar sangat dahsyat, tetapi hal ini hanya tercermin dalam seni seperti seni tari, lukis, pahat, dan sebagainya. Orang-orang Jepang adalah orang-orang yang memiliki semangat berjuang dan kemandirian yang sangat tinggi, bahkan kalau mereka bisa membuat rumah sendiri, mereka akan melaksanakan hal itu, dan mereka sangat bangga akan produk yang mereka ciptakan sendiri, hal ini juga yang membedakan orang Jepang dengan orang Indonesia yang sangat bangga memakai produk impor.
Saya rasa ini masuk akal juga kalau kita melihat orang-orang disekeliling kita yang dapat diumpamakan wong jowo kok ora njawani—saya tidak bermaksud mensentralisasi Indonesia dalam budaya jawa, tetapi saya hanya ingin mengungkapkan bahwa orang Indonesia sudah kehilangan originalitasnya.
Tak salah jika Yogyakarta hingga saat ini masih disebut kota pendidikan. Rupanya atmosfer ini tidak hanya ditemui di sekitar ruang perkuliahan. Nuansa diskusi ilmiah ternyata juga berlangsung di angkringan gelanggang UGM—gelanggang UGM adalah lokasi sekretaria-sekretariat UKM UGM— saat mereka nongkrong sambil menikmati makan malam dengan nuansa remang-remang di gerobak angkringan.
Sunday, October 14, 2007
Nasi Jagung
Nasi jagung adalah makanan khas orang madura, maklum di daerah pesisir pantai jawa timur banyak orang madura, mau tidak mau pasti nular juga kulturnya, tapi lumayan enak, mengeyangkan, dan makanannyajadi berwarna.
Nasi jagung sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu nasi jagung dan nasi glepungan. Keduanya sama-sama nasi yang dicampur dengan jagung, yang membedakan hanya bentuk jagung yang dicampurkan. Nasi jagung adalah nasi yang campuran jagungnya ditumbuk kasar, sedangkan nasi glepungan adalah nasi yang dicampur dengan jagung tumbukan halus.
Cara menanak nasi jagung dari awal sampai akhir sama persis dengan menanak nasi putih biasa.
Nasi jagung adalah alternative untuk menanggulangi kelangkaan pangan yang sebentar lagi isunya akan melambung ke permukaan. Nasi jagung biasanya dikombinasikan dengan sambal dan lalapan. Mau coba?
Tuesday, October 9, 2007
Belajar = membuka diri
Hehehe.....kok tanggung bangget ya.......situs porno jumlahnya lebih banyak lagi dan lebih mudah diakses, situs-situs tentang ajaran sosialis/ komunis juga banyak di internet, jadi meskipun situs "rumah kiri" tidak beraktivitas lagi tinggal pakai kata kuncinya di Google search udah dapat teori dan informasi yang lain secara komplit..plit...plit.....
Lahi pula apa salahnya kalau kita belajar tentang komunisme, biar bisa tahu gitu dalamnya, latar belakangnya, dan sebagainya....
Minds are like parachutes, they only function when they are open.
(Sir James Dewar)
Saturday, October 6, 2007
Menggagas kemandirian bangsa
Kita sering menyaksikan kampanye pemimpin di negara ini tentang pengentasan kemiskinan dan pengangguran, tetapi realisasi akan hal itu jauh dari program pasca terpilihnya sang pemimpin, pasalnya pemimpin di negara ini hanya berkutat pada masalah perebutan dan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan, bahkan pengembalian materi untuk biaya politik. Oleh karena itu focus pengembangan kesejahteraan masyarakat sering terabaikan. Sebagai anggota masyarakat yang menyadari akan hal ini, hendaknya kita tergerak untuk berbuat sesuatu dan tidak terlalu menggantungkan diri kepada pemerintah, untuk mempertahankan komitmen ini kita memerlukan kemampuan kemandirian, artinya setelah kita tahu bahwa orientasi kesejahteraan public terabaikan oleh pemerintah dan tidak meggantungkan diri pada pemerintah kita juga terbebas dari system hegemonial bangsa lain yang sering memberikan bantuan lunak bahkan grant, sehingga kita dapat menjadi apa yang disebut Satre sebagai arsitek bagi diri sendiri.
Berbicara tentang pemberantasan kemiskinan dan proses kemandirian bangsa, kita dapat belajar dari dua mantan penguasa besar bangsa ini pasca kemerdekaan—Soekarno dan Soeharto. Kedua perspektif itu yang pertama adalah kemandirian yang telah lama digembar-gemborkan Soekarno agar kita terbebas dari imperialisme dan kolonialisme. Dalam pandangan Soekarno, kita sebagai bangsa yang merdeka, kita harus dapat berdiri diatas kaki sendiri. Perspektif yang kedua adalah Soeharto—meskipun secara politis Bangsa Indonesia terbelenggu, kemampuan sistem pemerintahan yang dapat mengurus perut warganya nampaknya cukup untuk meminimalisir pemberontakan yang bermotif separatisme. Jalan yang ditempuh dalam pembangunan ekonomi saat itu dirasakan mulus oleh mayoritas masyarakat Indonesia, sehingga tak heran kalau terceletuk dari mulut rakyat bahwa mereka mengkritik gerakan reformasi--atas dasar fakta kehidupan sehari-hari—dimana kehidupan ekonomi yang terpuruk pasca kejatuhan Soeharto. Langkah yang ditempuh Soeharo adalah langkah insta, sehingga mudah terobohkan ketika dihantam badai krisis global, tetapi kedua perspektif ini akan menghasilkan kombinasi yang baik untuk perkembangan bangsa Indonesia. Artinya kemandirian akan tercapai dengan kemempuan untuk memanage kehidupan ekonomi yang baik.
Kemiskinan dalam Kelimpahruahan
Kata kemiskinan secara langsung menunjukkan suatu kondisi kekurangan dan ketidakmampuan untuk mengentaskan dirinya dari kondisi tersebut. Ketika belajar di sekolah dasar, sering kita mendapati kata-kata yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya raya, namun sekarang kekayaan itu tidak dapat kita temukan dalam kehidupan mayoritas bangsa ini. Meningkatnya angka kelaparan dan tingginya angka pengangguran tak luput dari deretan berita buruk media massa. Angka pengangguran yang tinggi yang menyebabkan kemiskinan finansial adalah salah satu bentuk ketergantungan terhadap orang lain, karena pengguran mengindikasikan suatu ketidakmampuan untukmenciptakan lapangan kerja sendiri. Ada banyak faktor yang menyebabkan naiknya angka pengangguran ini, faktor-faktor itu terbagi atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam setiap individu, misalnya soft skill, sikap, mental, ketiadaan modal finansial, cacat, dan sebagainya yang tergolong dalam kaum divable. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar kendali personal, misalnya kualitas pendidikan yang diberikan oleh negara, sistem ekonomi makro, sistem politik, dan sebagainya yang dikendalikan oleh negara maupun sistem global yang mengendalikan negara[1].
Dalam konsep awalnya, negara adalah kumpulan kehendak individu yang tidak mampu untuk di penuhi secara individual, kehendak ini akhirnya menjadi kehendak kolektivis. Kehendak kolektivis inilah yang dikelola oleh negara sehingga kehendak setiap individu tidak tercederai. Atas dasar kesukarelaan individual untuk menjadi warga negara inilah, individu dianggap sebagai resources dalam negara bangsa, dan negara dianggap mempunyai hutang moral kepada warganya. Hutang moral itu salah satunya adalah meratakan resources yang dimiliki oleh setia pindividu, agar terjadi keseimnagan soosial yang tepat, dimana hak setiap individu tidak tercederai. Diantara hutang moral yang menjadi kewajiban negara dalam memenuhinya adalah pendidikan yang berkualitas, peka terhadap lingkungan dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan.
Di Indonesia sendiri pada kenyataannya kekayaan yang berlimpah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh warga negaranya, kewajiban moral negara tidak terbayarkan dengan baik, dan angka pengangguran dengan lulisan pendidikan tinggi sangat tinggi. Padahal, dengan lingkungan dan intelektualitas yang ditawarkan oleh pendidikan tinggi seharusnya mampu untuk memobilisasi status sosial dan ekonomi masyarakat. Berawal dari logika sederhana, ketika penduduk Indonesia mencapai angka yang tinggi, jumlah kebutuhan akan semakin banyak, maka jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan akan meningkat, ketika produksi meningkat dibutuhkan tenaga yang lebih banyak pula, tetapi individu-individu yang notabene lulusan pendidikan tinggi tidak dapat mengatasi hal ini, mereka hanya mengaharapkan lapangan pekerjaan diciptakan untuk mereka, tanpa mempedulikan efek sosial, kultural, politik, dan futuristik.
Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Mahasiswa
Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui bahwa kesempatan harapan yang paling besar berasal dari kita sendiri yang menyadari akan kondisi ini. Di Indonesia tenaga berskill dan terdidik di Indonesia tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, pemerintah tidak menyediakan jaminan lapangan pekerjaan dan gaji yang memadai untuk mereka, hal ini berbeda sekali dengan malaysia yang menyediakan jaminan lapangan pekerjaan dan gaji yang semakin tinggi untuk mereka yang mengenyam pendidikan yang tinggi pula,dengan demikian mereka akan semakin termotivasi untuk meningkatkan produktivitasnya.
Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada sendiri diajarkan mata kuliah-mata kuliah tentang analisis, konstruksi, rekayasa, dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Namun pembelajaran di dalamnya sering kali hanya sebatas analisis dan jarang menelurkan usaha penyelesaian secara konkret. Hal ini dapat mengantarkan ilmu-ilmu yang dipelajari kedalam lubang kematiannya. Mislanya, pada kegiatan perkulihahan sering di bahas tentang kemiskinan, tetapi jarang sekali analisis-analisis tersebut menyentuh pada titik ide penyelesaian konkret, karena itu ide-ide dan usaha untuk mengintegrasikan kajian interdisipliner tidak pernah terlatih
[1] sistem kapitalisme global, sistem dipendensi, perjanjian internasional, adalah bentuk-bentuk sistem yang dapat mengontrol suatu negara.